Selasa, 14 Oktober 2008

Lindri Land Rock

Aku terduduk lemas ketika kulihat waktu telah menunjukkan dirinya 02.00 PM, di dinding kost temanku Ipung. Teori memang gak sama dengan prakteknya. Rencana kami mengikuti Lintas Alam, di Tulungagung kini diambang kebimbangan diantara waktu yang sudah semakin mepet, dan hilangnya koneksi kami dengan si pembawa dana Mei , yang dari tadi kami hubungi gak menunjukkan hasil makin bikin aku bingung.

Ku terduduk diam sambil mengotak atik phone book ku mencari-cari orang yang dapat dihubungi. Selagi Ipang mempersiapkan packing peralatanya, kutemukan sebuah nama Abdul, temanku anak STM Jenangan yang katanya juga mau mengikuti Lintas, tanpa piki panjang langsung ku telpon dia, koneknya agak lama sih.

“Hei Abdul sekarang posisimu dimana? Kamu ikut gak?”

“Eh Mbah, sekarang aku di Jenes, kamu lintas ikut gak?”

“Yup, secara cocokmu, ya jelas ikut lah!”

“Ya, aku ndek sini cari tebengan ma anak-anak, rame banget cepet mbah, tak tunggu!”

“Ngawur!!... semua packing ku sekarang masih di rumah, ini aja aku baru pulang sekolah, dan masih dikostnya temanku.”

“Katanya anak alam,” ejeknya.

“Nih di tasku sekarang cumin ada buku bahasa Inggris masak, ngelintas bawa gituan.”

“Itumah mending ni aku bawa kikir, tadi habis praktek aku langsung diajak anak-anak kemari.”

“Satu lagi, kalo aku ke Jenes, trus motorku tak buang kemana?”

Kan disini ada penitipannya, manfaatkan dunk!”

“Ahh…enggak ah, aku juga gak bawa dana yang memadai jadi ya aku tetep harus pulang.”

17 Mei 2008, Ponorogo dag day hawa puanas tak membuatku gentar, kupacu terus motorku. Hawa panas membuatku dan Ipung hanya berbicara seperlunya saja, terlalu panas tuk ber “spoken” ria.

Kusempatkan mampir di Jenes, tuk ketemu Abdul dan tentunya anak-anak pala yang lainnya.

Tapi nihil, Jenes sepi banget, kami hanya ketemu Romy, Citra dan beberapa cowok yang sekiranya agak pendiam. Apa gara-gara cuaca ya? Setelah berbasa-basi dengan mereka anak Ganesha pala, kami melanjutkan perjalanan ke rumahku yang makin mendung.

****

Hujan sore ini menambah angka ke alpaan dewi Fortune. Aku dan ipung terduduk lesu di depan rumahku menanti mukjizat hebat yang akan menghentikan hujan.

Koneksi kami dengan si pembawa dana Mei kembali terjadi dan berujung kami harus menunggu Mei di depan Pasar Sawoo atau berangkat tanpa pendanaan dari ekskul yang berarti kami harus mendanai diri kita sendiri.

Gerimis kecil tak menghalangi tekatku dan Ipung berjalan menuju pasar Sawoo yang berjarak kurang lebih 50 m dari rumahku.

Waktu menunjukkan pukul 03.30, yang merupakan tenggang toleransi kami tuk menunggu, mengingat tujuan kami yang cukup jauh desa Sawo, Kec. Campurdarat, Tulungagung dan benar saja di saat-saat yang sudah kritis itu, Mei datang dengan raut wajah tak bersalah, ia memarkirkan motornya di rumahku.

Setelah mendiskusikan hal-hal kecil, aku baru sadar dana dari ekskul cuman 30 ribu yang berarti hanya cukup untuk pendaftaran peserta disana nanti.

****

Keberuntungan kali ini datang dengan keberhasilan kami mendapatkan tebengan langsung jurusan Tulungagung. Walau tak langsung ke tempat tujuan, kami bahagia karena tak perlu mengeluarkan dana sepeserpun dalam perjalanan ini.

Kali ini kami tidak sendiri, pak sopir kembali menghentikan kendaraannya (truk) dan mempersilahkan beberapa anak lain yang bila dihitung-hitung mampu membuat bak truk terasa agak sempit dan memang benar sempit. Bayangkan anak-anak ganesha pala, simpala, kamu pala Jenggala dan beberapa orang tanpa organisasi termasuk kami berkumpul di satu truk.

****

Perjalanan ini membuat kami agak kuwalahan dengan angin sore yang dingin, membuatku menjadi lemas. Sore berganti malam dan malam itulah waktu perpisahan kami dengan Pak sopir dan pak kenet. Kami berpisah di perempatan Tamanan, Tulungagung. Dari situ perlu 14 km lagi menuju tujuan.

Polisi tak selamanya menyebalkan, karena kli ini berkat mereka kami mendapat tumpangan ke tujuan kami yaitu kecamatan Campurdarat. Ternyata berbeda dari brosur yang menyebutkan secretariat lomba berada di SMA 1 Campurdarat ternyata di pindah ke lokasi start yang berjarak 3 km dan kami tempuh dengan jalan kaki.

Keramaian dan spanduk-spanduk menunjukkan kami telah sampai pada tujuan. Walau tak ada senyum selamat datang dari para mbak panitia menyambut kedatangan kami di stand secretariat, tapi tak apalah yang penting kami sudah sampai tujuan tanpa kurang suatu apapun.

Kuambil HP di saku celanaku, dan mulailah ku mengabari keluarga, teman-teman dan tak ada yang menjawabnya.

***

Diriku terperangkap dalam antrian kamar mandi umum, sebuah masjid tak jauh dari stand secretariat, mungkin kalau aku gak kebelet pipis ya gak mungkin kejadian, tapi kantung kemihku udah kepenuhan dan terpaksa aku menunggu antrian.

Lagi asik-asiknya nunggu antrian, ada yang manggil-manggil, takkira cewek ngajak kenalan, ternyata udah kenal sejak TK malahan. Nurul temanku TK dan SMP gak nyangka bakalan ketemu di tempat kayak gini, perbincangan tentu terjadi makin lama. Perbincangan jadi makin hangat, gak nyangka antrian udah abis, tinggal aku seorang, mengingat udah kebelet langsung aja aku masuk ke kamar mandi. Habis pipis langsung ku say good bye ma Nurul dan lupa cipika cipiki.

Di tempat pendaftaran aku dan Ipung langsung mengenali wajah anak Brawijaya yang menemani kami dalam pendakian gunung Lawu Desember lalu. Si Penyu, dengan memakai jubah dari spanduk kartu GSM tersenyum, dimulai lagi perbincangan, kalo tadi perbincangan antara temen lama, kini perbincangan antara anak pala.

***

Lintas alam kali ini berbeda karena start dimulai pada malam hari tepatnya jam 12 malem. Jadi aku istirahat secepatnya supaya energi kembali. Malam itu hujan deras kembali menghamtam lokasi Lomba Lintas Alam Lindri Land Rock yang mengubah tekadku enjadi rasa malas yang sangat kuat.

Tapi waktu udah gak bersahabat lagi, terpaksa dengan sepatu pinjaman tanpa kaos kaki aku berangkat ke lokasi start. Udara dingin dan tanah yang basah dan bau hujan membuatku merindukan kasur di rumah yang empuk dan hangat. Aku dan Iung berjalan dengan didampingi wahyu, anak kelas 3 yang mau lulus tahun ini berjalan pasti ke lokasi start yang berjarak kurang lebih 100 m.

Lokasi start yang merupakan tempat wisata telaga di penuhi ribuan peserta, benar saja peserta kali ini mencapai 3000 lebih. Lapangan tempat pemberangkatan serasa penuh sesak, tai dengan kesigapan Pak Tothok berteriak-teriak mengatur para peserta tuk membuat barisan.

Pak tothok yang merupakan Bapak dari mbak Lindri mulai memberangkatkan peserta. Sementara itu kami bertiga menunggu. Karena lapar kami makan roti bersama-sama.

Pemberangkatan dilakukan secara bertahap dari perseorangan putri, beregu putri, perseorangan cowok dan terakhir beregu cowok. Dan membuat kami harus menunggu sampai pukul 02.00 am. Kali ini kami tidak membawa HP sama sekali.

Keadaan semakin buruk ketika wahyu menjatuhkan senter besar ke dalam sungai, saat kami melintasinya dengan jarring-jaring. Terpaksalah kami berjalan dengan 2 buah senter, korek lampu dari LED.

Sepatu pinjaman itu mulai melakukan impact kepadaku. Jari kelingking dari tiap kaki mengalami benturan dengan permukaan sepatu yang keras, memberikan sensasi seperti jari kaki saat lepas dan menghambat jalanku. Pos I yang jaraknya cukup membuatku kelelahan, mengingat keadaan kakiku ini. Akhirnya dengan dibekali ½ botol aqua tanggung dan satu senter korek ku di tinggal dibelakang.

***

Petualanganku yang sebenarnya baru dimulai, dengan senter korekku berjalan melewati jalanan lading jagung yang membentang luas banget. Di suatu lading kulihat 2 sosok orang mungkin sedang memetik jagung, mengingat di awal tadi pak tothok sempat mengijinkan para peserta mengambil jagung sepuasnya.

“Mari mas mampir di kebun kami”

Sapa mereka kepadaku.

“Oh iya mas, gak usah repot-repot” balasku.

Ini merupakan perjalanan yang berat, dimana jalanan tanah yang tak rata dan batu yang berserakan dimana-mana membuat siksaan kakiku menjadi-jadi, ditambah senter korek yang hanya dapat menjangkau jaeak 2 meter di depanku menambah sensasi petualanganku.

Aku berjalan dengan anak-anak dari Surabaya, saat itu matahari mulai kelihatan mungkin sudah jam empat pagi. Malam yang sepi tanpa guyon mengiringi perjalanan, berubah. Pada saat itu, mungkin karena jalanan mulai samara dapat terlihat tanpa bantuan lampu senter.

Logat Surabaya yang kental menambah tawaku pagi itu. Jalan panjang kini tak terasa lagi, benturan di kaki sudah menjadi teman, kami berjalan naik turun bukit. Kulihat cahaya di balik bukit dan pohon-pohon palem tinggi memberikan pemandangan pagi yang indah.

Keindahan mulai menampakkan “Siapa Penciptanya” dengan membentangkan lautan di balik bukit, indah banget gumamku, andai aku bawa kamera.

“Mbok’e anakmu ndek kene kor gae doso wae”

Teriakan teman seperjalananku, mengingat ini sudah subuh dan celana kami kotor, otomatis tak bisa melakukan sholat subuh, yang sebenarnya sama sekali tak memungkinkan bagi kami sekarang.

Pos II tepat di bawah bukit dekat pesisir pantai, tanpa istirahat langsung saja kulewati krumunan orang yang sedang beristirahat dengan menunjukkan sedikit kesopananku kusapa mereka dan mereka balas menyapa.

Jalan menuruni tebing tepat di depanku dan antrian orang-orang yang akan menuruninya membuatku jadi berhati-hati, di bawah kami harus menyebrangi pesisir pantai dengan tambang sebagai penunjuk jalur. Mengingat ini sepatu pinjaman maka kulepas dan bertelanjang kakiku aku melewati karang-karang. Sebelum menyebrangi perairan, karena si penulis terlalu bersemangat sehingga dia tak sadar telapak kaki kirinya robek oleh karang.

Saat menyebrangi air ku berjalan perlahan dan ternyata ketinggian air mencapai pinggul orang dewasa dan air laut membuat, maaf burungku kedinginan.

Sesampainya di bibir pantai baru kurasakan sakit di telapak kaki kiriku, langsung ku jatuhkan tubuhku ke pasir pantai dan melihat apa yang terjadi di kakiku. Robekan kulit yang lumayan cukup dalam membuatku sedikit kuatir, tapi untunglah air laut membuat pendarahan tak keluar, langsung ku menuju rumah penduduk yang kebetulan tepat berada di bibir pantai. Sebuah kran air tawar menjadi targetku, pancaran air yang kuat membantuku membersihkan celanaku dari pasir laut dan lukaku yang mulai kemasukan pasir. Setelah kuhilangkan pasir dari lukaku, langsung ku pakai sepatu itu.

Setelah berjalan ke ujung bibir pantai yang satunya lagi, ini bagian memanjat tebing dengan carmentel di atas, jalanan aspal sudah menanti kuberjalan di titik teratas jalan beraspal itu. Ku lihat dua teman seperjalananku dari Ponorogo beristirahat. Ikutku beristirahat di belakangnya dan kami mulai bercanda gurau dan dua cewek asal bali menjadi ikut tertawa, perbincangan kami mulai seru sebelum kami sadar kami sudah terlalu lama disini, aku memutuskan berjalan duluan. Dengan tiga orang dari Ngawi, ku berjalan bersama satu diantaranya cowok seumuranku berprawakan gendut, membuatku menceritakan petualanganku dulu dengan sedikit kebohongan. Hatiku sedikit tergelitik geli, ketika kulihat wajahnya yang begitu percaya bahwa dia bisa menjadi agak kurus dengan sering ikut lintas alam dan menceritakan kebohongan tentang keadaan tubuhku saat SMP dulu.

Setelah aspal panjang kami dibelokkan menuruni bukit menuju goa berair. Jalanannya yang miring dan terjal membuat kami terus berpegangan dengan whibing dan carmentel yang sengaja dipasang tuk memudahkan kami.

Saat itu kubertemu lagi 2 cewek Bali dan 2 orang teman se Ponorogo, dari situ ku mulai berkenalan dengan mereka. Pertama dengan Kingkong yang memang lebih suka dipanggil begitu, kami berjalan melewati gua berair yang lebih cocok dibilang gorong-gorong alami yang besar. Air disitu setinggi dada. Setelah gua jalan beraspal lagi, kali ini ku berkenalan dengan kontos dan 2 cewek Bali Terri dan satunya aku lupa, yang jelas dibaju mereka tertulis Angkatan Laut dan seorang cewek dari Ganesha pala yang terus kami goda. Setelah melewati lading jagung lagi, mulai terlihat pos III dengan para peserta yang menunggu truk yang akan membawa mereka ke pos IV tanpa berjalan.

Karena truck yang digunakan hanya satu, terpaksa kami menunggu dan bisa dipastikan lama. Kubuka sepatu pinjaman ini, terlihat kaki putih khas daging kedinginan. Saat kubertanya jam pada orang seperjalananku yang sudah lama berada disitu,

“Sekarang jam 07.15.”

“Oiya, temen-temenku dimana?”

“Wah, mungkin dah berangkat duluan pake truck jam 06 tadi.”

“Waduh….. Makasih. ya”

Sempat dia menawarkan aku roti, tapi kutolak dengan halus, karena saat itu aku haus banget. Ku berpindah tempat ke dekat jalur truck yang tak kunjung datang. Kebetulan disitu ada penyu dan teman-temannya, ku duduk di dekatnya sambil meregangkan kakiku dijalanan beraspal.

Di depanku terpampang 2 pasang kekasih yang hanya buatku iri saja. Kutundukkan kepalaku ke bawah tuk meregangkan semua kaki-kakiku yang kaku. Tersadarku ketika penyu berteriak

“Ya pak sopir, lindas aja kaki tak berguna itu.”

Sebuah truck yang membawa panen akan melintas, segera ku geser kakiku yang selonjoran di aspal 20 cm cukup tuk selamat dari hamper tertindas. Ku lempar senyum ke penyu yang disambut senyuman tak berdosanya.

***

Terlalu lama aku menanti truck yang akan mengangkutku, sehingga aku memutuskan berjalan kaki ke pos IV. Setelah mendengar kata bahwa pos IV tinggal 3 km lagi. Aku dan bapak-bapak dari Surabaya berjalan bersama dibelakang anak-anak dari Blitar.

Ada orang berkata, ketika seorang pria memberi tahukan jumlah mantan pacarnya pada pacarnya kalikan saja dua dank au akan mendapat jumlah mantan pacar yang sebenarnya dan kali ini hal itu sesuai yang berarti 6 km lah jarak sebenarnya dari pos III ke pos IV.

Setelah pos IV tercapai dengan keadaan kaki yang makin parah, ku beristirahat dan minum air aqua dari peserta lain. Jalan menuju finish masih terhalang 3 bukit lading jagung, yang berakhir di sungai yang membuatku mengerti kenapa even ini disebut Land Rock yak arena sepanjang sungai dipenui batu padas yang sama tajamnya dengan karang.

Disitu kuberjalan di belakang 2 pasang kekasih tadi, kebersamaan mereka makin membuat iri saja. Di ujung sungai batu itulah antrian tuk Flying Fox melintasi telaga, yang bisa dibilang gak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan telaga Ngebel.

Antrian kali ini lebih parah dari antrian WC, lebih gila dari antrian sembako dan lebih lama dari antrian BBM. 1,5 jam hanya bergerak 15 meter saja.

Saat mengantri itu aku baru sadar Ipung dan Wahyu berada dibelakangku. Ternyata Ipung dan Wahyu gak berangkat pakai truck jam 06.00 tapi menungguku di pos III. Saat ku menunggu mendapat suplai tenaga dari anak SMA 1 Rejotangan beupa gula jawa dan air gula jawa juga dari anak Ngawi tadi, yang sebenanya hanya membuatku makin haus.

***

Keadaan kami yang sudah sangat letih dari jam 02.00 sampai jam 10.00 berjalan terus tanpa mendapat makanan yang agak padat, membuatku menyesal menolak pemberian roti di pst III tadi. Kami yang sudah tak sabar memutuskan tuk memotong jalan dan melewatkan menjajal Flying Fox, sedih dan menyesal memang tapi sudahlah.

Finish di depan, kami disambut dengan tak ada apapun, bahkan mbak penjaga secretariat yang bertugas memberikan piagam dan sticker tak memberikan senyuman sedikitpun. Dengan bertelanjang kaki ku kembali ke base camp rumah penduduk tuk membersihkan diri dan tentunya makan. Di jalan ke base camp salam masih kuberikan ke penyu dan anak-anak yang sedang makan di warung yang disambut dengan respect.

Kami pulang dengan perasaan campur aduk, tapi yang jelas tak lupa ku tinggalkan souvenir air pipis di kamar mandi mushola terdekat.

***

Selagi anak-anak berusaha mencari tebengan di jalan aku dan Ipung tertidur di rerumputan pinggir jalan raya. Sambil mendengarkan lagu-lagu olif yang sendu dari MP4 membuatku menjadi sangat mengantuk, dan sampai pulang aku sama sekali gak ketemu Abdul.(dhanang priambodho).

1 komentar:

Anonim mengatakan...

mengingatkan. . .